Sudahkah Kita Membaca Hari ini?

“Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandek.” (Babara Tuchman). Selain itu, seperti kata pepatah, “Membaca adalah gudangnya ilmu”.  Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa membaca merupakan suatu kegiatan yang sangat penting. Dengan membaca, wawasan akan bertambah, segala peristiwa dan kejadian yang telah lalu dapat kita ketahui, serta segala ilmu pengetahuan kita dapatkan melalui membaca.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Alaq ayat 1-5 telah dijelaskan tentang pentingnya membaca. “Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.  Dari ayat tersebut tergambar bahwa Allah memerintahkan kita untuk membaca agar kita mendapat informasi tentang dunia maupun akhirat. 
Ada banyak manfaat yang bisa kita peroleh dengan membaca. Berikut kesaksian dan pengalaman beberapa tokoh yang memberikan penekanan betapa membaca menjadi keharusan (dalam Sareb P, Masri: 2008).
Books give us wings. (Buku memberi kita sayap)
-Slogan for the Center for the book, Library of Congres
A room without books is like a body without a soul (sebuah ruangan tanpa buku/ jika seseorang tidak membaca bagai badan tanpa jiwa)
–Cicero
Books are the opposite of television: They are slow, engaging, inspiring, intellect-rousing, and creativity-spurring. (Buku/ membaca adalah kebalikan dari televisi/menonton. Buku memang lambat, namun menarik hati, menginspirasi, mengasah otak, dan menumbuhkan kreativitas).
 –David Shenk
Read in order to live. (Membaca untuk hidup)
 –Gustave Flaubert
I have sought for happiness everywhere, but I have found it nowhere except in a little corner with a little book. (Saya telah mencari kebahagiaan dimana-mana, namun kini saya menemukannya di sudut sempit dalam sebuah buku mungil). 
–Thomas a Kempis.
Adapun dalam Miji Lestari, Prembayun: tanpa tahun, memaparkan manfaat membaca sebagai berikut. 1) Memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan; 2) Meningkatkan kemampuan imajinasi; 3) bisa menemukan hal baru yang berbeda dari biasanya; 4) Mampu mengubah sudut pandang; 5) Bisa menghilangkan stress dan beban pikiran; 6) Mengembangkan kreativitas; 7) Membaca merupakan gerbang perubahan; 8) Menguatkan kepribadian; 9) Mempertajam daya analisis; dan 10) Mengembangkan pola pikir.
Berbagai bentuk keteladanan dan kecintaan para ulama pada buku mampu menjadi contoh bagi kita untuk berusaha meluangkan waktu untuk membaca setiap hari. Para ulama rela menjual emas dan harta lainnya untuk membeli banyak buku dan membacanya. Dalam setiap perjalanan, para ulama selalu membawa buku. Ketika harus singgah di suatu tempat mereka tak lupa mengeluarkan buku-bukunya untuk dibaca. 
Asy-Syaikh Muhammad Badruddin Al-Husna, beliau biasa duduk di malam hari sekedar untuk membaca. Jika rasa kantuk mulai menyerang, beliau menyandarkan kepalanya ke bantal dan tidur ringan selama dua atau tiga jam dan kembai melanjutkan membaca. Ibnu Jauzi dalam nasehatnya yang menawan kepada penuntut ilmu mengungkapkan, “sebaiknya kamu mempunyai tempat khusus di rumahmu untuk menyendiri. Di sana kamu bisa membaca lembaran-lembaran bukumu dan menikmati indahnya petualangan pikiranmu.”
Salah satu contoh dahsyat kecintaan ulama dalam membaca yaitu Syaikh Ali Thanthawi, dengan berbagai amanah dan kesibukannya di peradilan Damaskus, disamping itu beliau harus memberikan pengawasan di majelis kehakiman, serta menjabat sebagai kepala peradilan ditiga majelis: majelis wakaf, yatim piatu, dan majelis tinggi fakultas syari’ah. Kesibukan beliau lainnya adalah menyampaikan ceramah di sekolah tinggi maupun SMA. Beliau juga menjadi khatib jum’at tetap, serta penceramah dalam beberapa tempat perkumpulan. Menjadi pembicara di salah satu radio, juga contributor tetap salah satu surat kabar harian. Meskipun sibuk, beliau tetap membaca 200-300 lembar dalam sehari. 
Jika di negara maju semisal Jepang, membaca sudah menjadi budaya masyarakatnya. Orang biasa mengisi waktu luangnya dengan membaca, baik itu ketika menunggu kendaraan atau seseorang, sedang duduk di kendaraan umum, sedang antre di Bank, begitu juga ketika sedang bepergian kemanapun, mereka terbiasa membawa buku di tas. Oleh karena itu, bukan pemandangan aneh jika akan kita temukan orang asyik membaca di transportasi umum, di taman-taman, di halte,di pantai, atau di pinggir jalan. Berbeda dengan pemandangan kita, akan jarang sekali ditemukan orang membaca di tempat umum, atau sedang menunggu kendaraan atau sekedar mengisi waktu luang lainnya. 
Namun pada kenyataannya, budaya membaca kita ternyata masih sangat minim. Sutrianto, dkk (2016) memaparkan data PISA 2009 bahwa peserta didik Indonesia berada pada peringkat 57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. data ini menunjukkan budaya literasi Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. 
Begitu juga dalam sebuah artikel-Republika, Senin (14/12/15) yang berjudul “Literasi Indonesia sangat Lemah”, lebih lanjut mengungkapkan data statistik UNESCO 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja, sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Dari data-data tersebut di atas, membuat hati kita pilu akan kondisi literasi kita.
Kementerian  Pendidikan  dan  Kebudayaan mengembangkan gerakan literasi sekolah (GLS) yang melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan. Selain itu, pelibatan unsur eksternal dan unsur publik, yakni orang tua peserta didik, alumni, masyarakat, dunia usaha dan industri juga menjadi komponen penting dalam GLS.
Berbagai upaya mungkin sudah dilakukan pemerintah maupun berbagai lembaga agar membaca dapat menjadi budaya kita. Namun tanpa tekad yang kuat dalam menanamkan kesadaran pada diri sendiri bahwa membaca itu sangat penting maka membaca akan hanya menjadi teori yang tetap tersimpan rapi dalam buku. lalu pertanyaannya, sudahkah kita membaca hari ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ukir Peradaban dengan Menulis

Ingin Jadi Penulis? Membacalah