Ukir Peradaban dengan Menulis
Kemajuan peradaban suatu bangsa ditandai dengan banyaknya karya tulis. Hal ini menandakan bahwa budaya membaca dan menulis itu sangatlah penting. Suatu ungkapan Morsey yang menyatakan bahwa keterampilan menulis sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern saat ini. Ciri orang terpelajar atau bangsa terpelajar apabila orang/bangsa tersebut terampil dalam menulis. Jauh sebelum itu, Imam Ali Bin Abi Thalib telah menekankan akan pentingnya menulis seperti ungkapannya yang tak asing lagi “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”.
Menulis memiliki sebuah kekuatan untuk mengubah pola pikir dan kehidupan seseorang, masyarakat, negara, bahkan dunia. Agung Pribadi dalam bukunya ‘Gara-gara Indonesia’ (2017) menuliskan bahwa Gerilyawan Vietcong menang melawan Amerika dalam perang gerilya salah satunya karena membaca buku Pokok-pokok Perang Gerilya karya A.H Nasution dan menjadikannya pedoman dalam menetapkan strategi perang.
Contoh lain dahsyatnya kekuatan sebuah tulisan, buku Das Capital karya Karl Marx yang membuat aliran komunisme dan sosialisme hingga mengakibatkan dunia terpisah antara barat dan timur selama puluhan tahun. Bukan ingin membahas buku ini, tapi memberi pelajaran bahwa bagaimana buku memiliki kekuatan untuk melakukan suatu perubahan.
Banyak contoh lain bagaimana tulisan mampu membangun sebuah peradaban. Kita bayangkan saja, bagaimana jika ulama, ilmuwan, atau orang-orang terdahulu semisal Imam Nawawi, Ibnu Sina, atau Ra Kartini tidak menuangkan pemikiran dan ilmunya dalam bentuk tulisan, tentu karya mereka tidak bisa dinikmati dan menjadi rujukan generasi sekarang. Oleh karena itu, tulisan-tulisan kita sekarang ini suatu saat nanti juga akan menjadi warisan untuk generasi yang akan datang.
Lalu, bagaimana menumbuhkan dan melatih keterampilan menulis itu? Menulis memang bukan hal mudah dan juga bukan hal yang sulit dilakukan jika tidak dimulai, dilatih dan diasah secara terus-menerus. Untuk menghasilkan sebuah tulisan, tidak serta merta langsung jadi tanpa adanya proses yang harus dilalui.
Sebagaimana ungkapan Marion van Herne, jarang ada penulis yang lahir dengan kemampuan menggunakan kata-kata secara baik. Setiap penulis harus berlatih sampai ia menguasai seninya. Ia membutuhkan disiplin diri yang keras, latihan penulisan dan penulisan kembali (rewriting) yang berat dan berjam-jam.
Lebih lanjut, Bambang Trim dalam Ismail Kusmayadi (2011) juga menyatakan bahwa kemampuan menulis bukan lahir karena bakat, tetapi karena diciptakan. Artinya, tidak ada seorangpun dilahirkan sebagai penulis. Akan tetapi, seseorang tercipta sebagai penulis karena ia diberi peluang dan stimulus untuk belajar, berlatih, dan berkembang
Selain itu, Jika kita menulis tentu kita tidak akan terlepas dari kegiatan membaca. Semakin banyak membaca, akan muncul ide dan inspirasi yang akan memberi energi bagi kemampuan berpikir kita. Dengan banyak membaca, keterampilan menulis akan semakin terasah.
Menuntaskan suatu tulisan walaupun sederhana dapat menumbuhkan kepuasan tersendiri bagi diri. Ada rasa bahagia dan rasa ingin lagi dan lagi. Jika kita sudah mulai membiasakan menulis, maka akan timbul tarian ide tentang banyak hal yang ingin ditulis, entah itu kejadian yang lalu, impian yang akan diperjuangkan nantinya ataupun hanya sekedar catatan harian saja.
Kata demi kata, kalimat demi kalimat yang sudah dirangkai menjadi suatu tulisan yang bermakna memang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Apalagi masih pemula dan belum memiliki konsistensi untuk menulis setiap hari. Untuk itu perlu adanya motivasi baik dari diri sendiri maupun faktor luar seperti mengikuti forum kepenulisan yang bisa saling memberi semangat dan berbagi ilmu. Maka menulislah dari sekarang, dan turutlah bersama mengukir peradaban.
Komentar
Posting Komentar